Sabtu, 27 Februari 2010

SUARA


Ketika sesuatu yang kutunggu tak juga datang, aku mulai bertanya-tanya kembali. Pertanyaan yang selalu timbul tenggelam meninggalkan resah tak kesudahan. Benarkah dia yang kutuju, dewasaku? Detik seolah kehilangan waktu pada detak jantungku. Atau justru aku yang sedang berlari dari semua itu?!

Aku sudah tua ibu, diusiaku yang hamper dua puluh satu aku memang sudah semakin tua kan ibu..

Aku ingin menjadi garis tawa dibibir ibu, aku ingin menjadi senyuman untuk adik-adikku, aku ingin menjadi jalan saat bapak tersesat dan ingin pulang, aku ingin menjadi sebuah pohon yang kokoh saat mas butuh sandarang dan naungan. Aku ingin menjadi segalanya. Tapi senyuman itu, tawa itu, gamang itu, letih itu…..haaaaahhh

Aku terlalu tidak peduli hingga kuputuskan untuk berlari. Aku terlalu takut hingga aku memilih untuk sendiri. Ditempat ini, ditempat kukais sekeping logamselalu kucari jalan keluar, tapi nihil. Aku hanya menemukan jalan buntu dan sebuah jurang. Seolah tak ada lagi tempat yang bisa kusinggahi.

Mencatat setiap kejadian, merenungi setiap pemberhentian.

Dihalte tempat kucuri dengar bising teriakan makelar bus, tempat menggelegarnya nyanyi sumbang pengamen, tempat meratap-ratap ibu pengemis dan bayi dalam gendongannya. Tak kutemukan juga makna ku ada. Aku seperti pencatat, tanpa pernah bias jadi penterjemah rasa.

Diwarung maya, tempat kucuri tawa sumringah dan sapa hangat, aku jadi seperti sedang mencurangi kalian, kekasihku. Tegakah kutelan sendiri tawa dibibirku? Aku gamang, aku tak bias sendirian. Aku sadari aku lebih senang saat kita menangis bersama. Saat bagaimana kita nikmati tempe bakar dan secobek sambal dengan senyuman. Aku rindu obrolan kita tentang lebih nikmat mana mie instan rasa soto dengan rasa kare sambil kita nikmati sebungkus mie instan rasa kare ramai-ramai dalam satu mangkuk besar.

Aku kalah ibu, saat harus kutulis lagi apa itu perasaan? Rasaku yang hampir mati, rasaku yang menerus sendiri, rasaku yang hampir lupa bahwa aku masih punya beban tanggung jawab akan sebuah rekah yang harus kugoreskan dibibir kalian.

Aku terombang ambing akan sebuah makna tentang cinta. Padahal aku sendiri tidak tahu apa itu cinta?! Aku terlalu sederhana mengartikannya dengan hanya sebuah getar dan degup jantung yang menggila.

Berpuluh purnama aku hanyut olehnya, oleh kesederhanaan itu. Ya, cinta kepada mahluk bernama lelaki itu membuatku bingung bagaimana harus bersikap. Aku melupakan sebuah rasa yang harusnya lebih aku perjuangkan, yaitu rasaku pada kalian.

Suara-suara makin mendengung menggaung dilobang kegalauanku, disini dan hanya disini aku berani berkata aku cinta kalian kekasihku. Biarkan aku perjuangkan bahagiaku dan senyumanmu dengan terus kurenungi getir dari pahit yang sedang kita kecap kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar