Rabu, 19 Januari 2011

Apakah tangis? Jika yg tertinggal tetap goresan luka.
Seperti mata air mampat, disumbat berjejal sampah. Banjir, susah, tak juga senyum rekah.

Apakah airmata? Ketika isak habiskan berkilometer pita suara. Sedang kau tak mengerti isyarat kecuali selusin kata, dari mulut, kerucut, menciut.

Apakah ada? Bila sejatinya semua hampa. Seperti berada dalam ketiadaan, mencoba sentuh yg tak teraba.

Pada akhirnya, tak perlukan tangis, tak patut tawa, tak guna airmata, tak...tidak.

Kau dan aku, kita adalah tiada.

Jumat, 14 Januari 2011

MENJELANG PEMBERHENTIANKU PADA TERMINAL TERAKHIR

Selesai? Belum, ini belum tamat. Aku bahkan masih baru akan terbang, mengepakkan sayap di keluasan langit, menorehkan warna pada bentangan kanvas birunya.

Aku hanya akan pergi, pergi sejauhku bisa mencapai puncak tertinggi. Entah sejauh apa gapai yang bisa kuraih, tapi aku usahakan setinggi mungkin. Aku ingin tunjukkan pada kekasihku (ibu,bapak,mas,adik) seperti apa indah itu, lalu menikmati bahagia serta ulasan senyum mereka.

Ah, ah..belum-belum aku sudah membayangkan sesuatu yang muluk.

Selasa, 05 Oktober 2010

Cintaku cinta mereka.

Aku pulang, cuma sebentar memang, tapi aku senang. Sebentar lagi mas pulang, setelah dua tahun lebih kurindukan dia memelukku dg kasih penuh seorang kakak. Ibu&bapak, ah betapa kebersamaan serta bincang2 tadi membuat hatiku luar biasa lega. Tholeku, mulai rajin sholat! Alhamdulillah...

Bahagia...
Terimakasih Robbuna, malam ini tak kan kupunggungi mimpi, aku akan lelap dg senyum para kekasihku, luv u all my lovely family :)

Senin, 04 Oktober 2010

curhat curhat curhat *ab... :'( *

Aku sedang gelisah sayang,

Ingin kutumpahkan gelisah ini ke dalam tumpukan kata-kata, tapi otakku seperti tersumbat. Menulis itu tidak gampang ya, padahal ada begitu banyak hal yang sedang kupikirkan.

“ and I must ask you to imagine a room, like many thousands, with a window looking across people’s hats and vans and motor-cars to other windows, and on the table inside the room a blank sheet of paper on which was written in karfe letter WOMEN AND FICTION…” (Virginia woolf, A Room of One’s Own)

Begitulah, katanya seorang penulis (perempuan) membutuhkan sebuah ruang, fisik dan imaginatif. Bahkan ruang itu harus lebih besar, lebih kukuh dan pribadi untuk bisa menghasilkan sebuah karya yang jujur dan bercahaya.

Bagaimana aku bisa tahu bahwa aku telah memiliki sebuah ruang pribadi? Sedangkan tempat pelarianku selama ini hanyalah sebuah buku harian. Atau justru aku sama sekali belum pernah membangunnya untuk mulai menulis sebuah karya?!

Bisakah kau tunjukkan caranya agar aku bisa membangun sebuah ruang itu? Sehingga nanti saat sudah kumiliki ruang pribadi itu bisa kutanggalkan jubah keseharianku. Dan setelah memasukinya aku bisa dengan leluasa menerbangkan imajinasiku.

Maukah kau mengajariku? Menjadi selah satu guru kehidupanku? Guru dari satu sisi kelamku. Ah tidak, bukan kelam. Jika setiap manusia memiliki warna putih dan hitam maka kau adalah seseorang yang memberikan warna abu-abu kepadaku.

Mulai saat ini sayang, bagaimana? Aku belajar membangun ruang pribadiku agar aku bisa mewujudkan keinginanku menjadi seorang penulis perempuan. Seorang penulis yang nantinya bisa dengan jujur mengungkapkan pemikirannya lewat sebuah tulisan.


(aku kembali menepi, belajar tak bergantung padamu, tapi sungguh bahagiaku hambar tanpa warna nada tawamu. still miss u ab,,)

Kamis, 30 September 2010

Nok, ingat posisimu cuma bayangan!

Lelakiku, aku frustasi, aku depresi. Aku cemburu, aku takut.

Bagaimana aku harus bersikap? Kau yang sekarang seolah sedang mengingatkan posisiku kembali bahwa aku hanyalah bayangan, selingan, tempat pelarian. Sakit ab, berkali-kali juga kukatakan bahwa cinta itu sakit. Dan kau tambahkan lagi perih ini dengan sikapmu sekarang.

Aku bodoh memang, abaikan lelaki yg datang membawa masa depan untukku hanya karna sedang cinta kepadamu, cinta yang berlebihan. Tapi bukankah aku berhak menentukan pada siapa cinta ini akan kuberikan?! Meskipun toh aku tahu aku menempatkan cintaku pada kesia-siaan.

Sudahkah tiba masa itu? Haruskah aku berhenti sekarang? Kalau ab ingin berhenti karna cinta dan kesetiaan ab aku ikhlas, aku rela, dan aku akan sangat bahagia. Tapi jika ab ingin berhenti karna ab masih ingin mendapatkan petualangan cinta yg liar dan berpeluang menyesatkanmu aku tidak ridho ab. Bagaimana harus kujelaskan bahwa ditengah kesesatanku tak putus-putusnya kupanjatkan doa untuk kebaikanmu, dan jika doaku ini harus berakhir dengan kehancuranmu aku amat sangat tidak rela.

Semoga sikap yang kau tunjukan padaku ini adalah awal yg baik dari akhir kisah kita. Mungkin setelah itu tidak akan ada lagi email, tidak ada lagi telfon, tidak ada lagi sapa singkat antara kita.

Tapi sebelum masa itu benar-benar tiba, ijinkan aku curahkan kasih sayangku padamu sepenuhnya, ijinkan aku mengabdi padamu sebagai emban yg menghormati junjungan sekaligus kekasih hatinya.

Rabu, 29 September 2010

Susah, senang!

Aku susah sekembalimu dari dunia antah berantah itu ab, kegilaan yg kian tak terkendali, cemburuku yg makin menjadi, serta rasa bersalah dan ketakberdayaan membunuh rasaku.

Entah kapan akan Dia cukupkan episode cerita kita? Aku sendiri masih ingin selalu mendengar suara tak merdumu. Masih ingin menikmati purnama di wajah bundarmu, masih ingin melihat dan mendengar tawa lepasmu, masih ingin penuhi kedua pipimu dg ciuman bertubi-tubiku.

Kadang aku ingin sekali membencimu, tapi jika sudah begitu siapa nanti yg musti kuusik lagi? Tidak ada yg sepertimu ab, tak satupun. Tak ada lelaki yg tak romantis melebihi ab, tak ada lelaki yg seterus terang ab, tak ada lelaki yg setekun ab, tak ada lelaki yg sekanak-kanak ab, tak ada ab. Ketidaksempurnaan ab nyaris membuat cintaku sempurna kepadamu.

Beberapa jam yg lalu telah kau tuntaskan rinduku, suaramu yakinkanku bahwa ab sedang baik-baik saja. Sebenarnya sangat ingin bercerita mengenai hal-hal yg terjadi padaku saat kau tak ada, tapi mendengar suara letihmu kuurungkan niat itu. Kita masih bisa ber-email ria kan?!

Aneh ab, dulu aku paling tak suka saat kau panggilku dg sebutan 'sayang' dan memintamu tuk memanggilku nduk, tapi sekarang aku begitu rindu dg sapa 'itu' sayangku...

Aku sedang berduka atas nama keluarga ab, ndukku, mas, bapak&ibu, serta thole. Mereka memaksakt berpikir, apa yg akan terjadi sekiranya mereka tahu bahwa ternyata aku seperti ini?! Mencintaimu dengan cara paling brutal, menutup mata akan segala aturan, sebab aku tahu cintaku melampaui segala aturan-aturan itu,, ana uhibbuka ya habib...

Biarkan saja kisah ini mengalir seadanya. Setidaknya dengan merenungi jalan cintaku padamu aku bisa mengerti betapa berharganya orang-orang yg kukasihi, dan aku akan terus mencoba tegak menjadi tiang penyangga bagi keluargaku, semampuku. Ab bilang bahwa aku kuat, dan aku mencoba meyakini itu.

Welcome back di duniaku yg serba carut marut ab...

Sabtu, 25 September 2010

Tuhan, ijinkan aku menjadi pelacur

Karangan: Muhidin M Dachlan

Ini adalah buku yang kubeli dengan hasil kerja resmiku setelah minggat dari bangku sekolahan terhitung dari tiga tahun yang lalu. Begitu istimewanya buku ini sehingga kurang dari sehari dia sudah beralih tangan ke temanku (ya temanku itu pinjam tiga tahun lamanya belum juga dikembalikan).

Buku karangan Muhidin M Dahlan ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang perempuan bernama Nidah Kirani. Perempuan soleha yang jatuh cinta dengan akidah yang terkandung didalam agamanya hingga memantapkan hatinya untuk membela Islam seutuhnya. Namun perlahan kecintaan dan keyakinannya runtuh satu persatu setelah dia memutuskan untuk bergabung dengan salah satu kelompok islam garis keras di kampusnya.

Nidah merasa diperdaya, apalagi setelah dia berpacaran dengan salah satu pemimpin kelompoknya ia malah terjerumus ke dalam gaya hidup seks bebas.

Himpitan keluarga serta lingkungan yang terlanjur memandangnya sebagai wanita soleha membuatnya berada pada posisi sulit. Terlebih saat dia ingin keluar dari kelompoknya tersebut ia mendapatkan tekanan keras dari seluruh anggotanya. Nidah terus hidup dalam kemunafikan dan tekanan. Hingga perlahan lahan dia mencoba menerima kenyataan bahwa apa yang menimpanya merupakan garis hidup yang memang harus ia jalani.

Dari situ kemudian terkuak sisi kelam yang selama ini belum pernah dia jumpai. Dari dosennya sendiri dia mendapat jalan lebar memasuki jaringan prostitusi internasional untuk menjadi pelacur kelas atas.

Buku ini memaksaku untuk berkali-kali menghadap cermin. Meskipun hanya sekali aku membacanya tapi kisah Nidah begitu rapi tersimpan dimemori otakku. Mengingat dan mengingatnya lagi membuatku tersadar bahwa aku harus senantiasa hati-hati dalam mengambil setiap langkah dan keputusan.

(mengobati kedongkolan hati dengan gemreneng di ruang maya setelah puas dimaki-maki pelanggan yang gak dapat tiket kapal hari ini :)) apa pelacur yang servisnya gak memuaskan juga dapat makian sepertiku ya? Allohu a'lam.)