Minggu, 28 Februari 2010

HM...
itu tadi sedikit tentang gandrung yang kucopy dari mbah google. mempesona bukan?!
cantik tentu saja. sejak mengenal tarian itu aku seperti tergila-gila dengan gandrung. tarian ini seperti mengandung magnet yang menarikku untuk terus mengikuti, mendengar dan merasakan pesona yang diapncarkan para penari juga tabuhan-tabuhannya.

gandrung bagi kotaku sendiri sudah menjadi budaya yang wajib diikuti oleh siswa-siswa sekolahan. sayang aku tidak pandai menari. aku hanya senang mengikuti dan menikmati pertunjukannya. tapi bagiku gandrung adalah sebuah jiwa. dimana kudengar irama gandrung maka dengan sendirinya langkahku akan mencari sumber suara itu.

bukannya aku narsis dengan kota kelahiranku ini, tapi memang beginilah Banyuwangi.
Kau tahu, satu kata untuknya

"I Love You Full Banyuwangi!!"

GANDRUNG BANYUWANGI


Gandrung Banyuwangi berasal dari kata "gandrung", yang berarti 'tergila-gila' atau 'cinta habis-habisan' dalam bahasa Jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Sejarah
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Tata Busana Penari
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.
Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.
Bagian Bawah
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.
Musik Pengiring
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.
Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electon

LELAKI SETENGAH SINTING ITU NAMANYA SIS...

Lelaki sinting itu masih setia didepan tempat kerjaku. Sudah berbulan-bulan, bahkan sebelum aku dipindah ditempat ini. Mungkin aku belum pernah cerita, ah ya aku memang tidak pernah bercerita kan. Mungkin harus kuceritakan dari awal siapa dia.
Dia pria, tentu saja. Berbadan tirus ( tinggi kurus ) rambutnya gondrong melebihi bahu, selengan tangan. Tambutnya ini selalu dibiarkan terurai. Kakinya timpang, tapi itu bukan karena cacat bawaan. Begini cerita menurut orang-orang disekitar tempat kerjaku.
Sis, dia jadi timpang begitu sejak mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Tulang kakinya menonjol keluar, dan keluarganya tidak peduli dengan kecelakaan yang menimpa dirinya. Kenapa begitu? Itu masih menjadi pertanyaanku pribadi hingga kini.
Sejak kapan sis jadi sinting begitu aku kurang tahu, tapi penyebabnya sebenarnya cukup sederhana dan klise, urusan cinta. Dia jadi sinting karena seorang gadis yang dicintainya menolak cinta lelaki malang ini. Ditambah kesenangannya minum arak, bir, dan sejenisnya membuat pikirannya tambah tidak waras. Kalau sudah mabuk dia bisa teler hingga berhari-hari.
Yang tidak kusukai sebenarnya cara dia bertingkah, selalu saja aku dan teman satu kantorku yang dia ganggu. Pernah dia hampir memegangku, tentu saja aku marah besar, kumaki-maki dia dengan kasar. Dan dia pergi dengan meninggalkan ocehan seperti biasanya. Entah kenapa setelah memarahinya seperti itu aku sangat sangat sangat menyesal. Aku jadi seperti ikut-ikutan gila. Apa bedanya aku dengan sis? Lelaki sinting itu? Tidak ada aku dan dia memang sama-sama sinting itu memang benar kan…
Tapi biar begitu sis masih saja menjadi penunggu paling setia tempat kerjaku. Meski sudah kularang masuk, dia bertahan dengan caranya sendiri. Dengan duduk-duduk didepan tempat kerjaku. Yang menyebalkan ocehannya semakin menjadi. Haha..kadang dia melihat kearah kami sampai lama, kalau sudah begitu temanku Cuma bisa bergidik ketakutan.
Sis entah harus dengan cara apa aku menghadapimu. Kuakui aku kalah, aku tidak seteguh kau dalam pertahankan kemauanmu. Lelaki sinting yang bahkan saat kutinggal kewarnet untuk merampungkan tulisan ini sudah meringkuk manis di kursi kayu panjang didepan tempat kerjaku.
Tahukah sis, aku megnhormatimu juga dengan caraku.

Sabtu, 27 Februari 2010

SUARA


Ketika sesuatu yang kutunggu tak juga datang, aku mulai bertanya-tanya kembali. Pertanyaan yang selalu timbul tenggelam meninggalkan resah tak kesudahan. Benarkah dia yang kutuju, dewasaku? Detik seolah kehilangan waktu pada detak jantungku. Atau justru aku yang sedang berlari dari semua itu?!

Aku sudah tua ibu, diusiaku yang hamper dua puluh satu aku memang sudah semakin tua kan ibu..

Aku ingin menjadi garis tawa dibibir ibu, aku ingin menjadi senyuman untuk adik-adikku, aku ingin menjadi jalan saat bapak tersesat dan ingin pulang, aku ingin menjadi sebuah pohon yang kokoh saat mas butuh sandarang dan naungan. Aku ingin menjadi segalanya. Tapi senyuman itu, tawa itu, gamang itu, letih itu…..haaaaahhh

Aku terlalu tidak peduli hingga kuputuskan untuk berlari. Aku terlalu takut hingga aku memilih untuk sendiri. Ditempat ini, ditempat kukais sekeping logamselalu kucari jalan keluar, tapi nihil. Aku hanya menemukan jalan buntu dan sebuah jurang. Seolah tak ada lagi tempat yang bisa kusinggahi.

Mencatat setiap kejadian, merenungi setiap pemberhentian.

Dihalte tempat kucuri dengar bising teriakan makelar bus, tempat menggelegarnya nyanyi sumbang pengamen, tempat meratap-ratap ibu pengemis dan bayi dalam gendongannya. Tak kutemukan juga makna ku ada. Aku seperti pencatat, tanpa pernah bias jadi penterjemah rasa.

Diwarung maya, tempat kucuri tawa sumringah dan sapa hangat, aku jadi seperti sedang mencurangi kalian, kekasihku. Tegakah kutelan sendiri tawa dibibirku? Aku gamang, aku tak bias sendirian. Aku sadari aku lebih senang saat kita menangis bersama. Saat bagaimana kita nikmati tempe bakar dan secobek sambal dengan senyuman. Aku rindu obrolan kita tentang lebih nikmat mana mie instan rasa soto dengan rasa kare sambil kita nikmati sebungkus mie instan rasa kare ramai-ramai dalam satu mangkuk besar.

Aku kalah ibu, saat harus kutulis lagi apa itu perasaan? Rasaku yang hampir mati, rasaku yang menerus sendiri, rasaku yang hampir lupa bahwa aku masih punya beban tanggung jawab akan sebuah rekah yang harus kugoreskan dibibir kalian.

Aku terombang ambing akan sebuah makna tentang cinta. Padahal aku sendiri tidak tahu apa itu cinta?! Aku terlalu sederhana mengartikannya dengan hanya sebuah getar dan degup jantung yang menggila.

Berpuluh purnama aku hanyut olehnya, oleh kesederhanaan itu. Ya, cinta kepada mahluk bernama lelaki itu membuatku bingung bagaimana harus bersikap. Aku melupakan sebuah rasa yang harusnya lebih aku perjuangkan, yaitu rasaku pada kalian.

Suara-suara makin mendengung menggaung dilobang kegalauanku, disini dan hanya disini aku berani berkata aku cinta kalian kekasihku. Biarkan aku perjuangkan bahagiaku dan senyumanmu dengan terus kurenungi getir dari pahit yang sedang kita kecap kini.

Senin, 22 Februari 2010

Selembar Kertas & Sebuah Pena

Saat aku patah hati aku akan butuh selembar kertas dan sebuah pena. Untuk mengucurkan airmataku yang deras pada pipa kata-kata.

Tapi sekarang, selembar kertas dan sebuah penaku sedang mangkir, butuh merayunya beberapa hari untuk mau kusentuh dan tulisi lagi. Tangankupun gemetaran kali pertama kuraba lagi pangkal pena. Ah, benar-benar gemetarku seperti saat pertama kali bersua dengan pujaan hati.

Mungkin mereka mangkir dari dekapanku sebab aku lebih memilih tuts keyboard dan jejaring dunia maya untuk melampiaskan segala rasa kecintaan dan keinginanku. Tapi sungguh, selembar kertas dan sebuah pena, merekalah cinta pertamaku ketika kuselubungkan rasa dipipa kata-kata.

Gemetarku beberapa hari yang lalu membuatku lupa bahwa patah hatiku dengan lelaki masih membekas dan terasa. Tapi karena aku sibuk merayu selembar kertas dan sebuah pena aku jadi memiliki kekasih baru untuk bisa kurayu. Ya, kekasih baruku itu bahkan lebih manja dan menggoda.

Sebenarnya dulu dia hanya kuanggap sebagai tempat pelampiasaan tuk tuangkan amarah dan rasa kecewa. Hitam putih yang seirama kehidupanku, hitam putih yang sering kali luput mendapat sapa bahagiaku. Kini justru saat aku merasa terlupakan dan tersisih kembali, selembar kertas dan sebuah pena mengintip dibalik tumpukan usang buku-buku. Seolah mereka turut bersedih dan rindu dekap cumbu jari-jariku. Tapi begitulah, layaknya selingkuhan yang sudah lama terabaikan mereka merajuk, memalingkan muka kepadaku. Meski aku tahu mereka sebenarnya tidak begitu.

Diluar jendela kamar, gerimis masih setia bertandang. Mungkin dia juga tahu aku sedang patah hati. Rinainya mengetuk mesra kaca jendela. Maafkan aku hujan, aku tak bisa mentigakan mereka, karena nanti keduanya akan rapuh dan runyam dengan basahmu.

Jangankan kau, kepada titik airmataku saja mereka sudah kelabakan. Kalimatku menjadi buram. Karenanya aku mengerti ternyata selembar kertas dan sebuah pena, saat mereka sudah melebur dalam pipa kata-kata aku harus menjaga keduanya agar tetap harmoni biar bisa terus kubaca.

Kini aku memang masih sibuk merayu, bercerita kepada mereka bagaimana cintaku kepada lelaki kandas tanpa sisa. Tapi begitulah kekasih baruku, mereka begitu senang menampung cerita. Bahkan mereka menunggu dekapan tanganku selanjutnya. Tidak dengan bendungan airmata, tapi dengan seulas senyuman dan tarian jemari yang penuh gairah. Sembari kubisikkan kembali pada mereka ‘aku jatuh cinta’.

Kata Pertama 'Patah Hati'

Aku patah hati, dan memang patah hati yang sedang aku rasakan. bukan hanya sekali dua, tapi berulang-ulang. Tahu kenapa aku mudah sekali patah hati? karena semua mata sedang memandangku sebagai manusia super, berotot baja balung wesi!

Kenapa harus perempuan sepertiku? yang saat ini sedang berusaha meninggalkan sisa-sisa lukanya yang biru didalam senyuman paling syahdu? Dia pun juga begitu, sayangku yang memang tinggal satu-satunya sayangku. Yang dipundaknya kugelontorkan harapanku.

Sudah kuasingkan segala airmata berpuluh purnama lamanya, tapi tenyata dia telah menyiapkan bendungan dikantung mataku. Ya, semalam airmataku yang mirip banjir bandang tiba-tiba datang. Dan itu karenamu sayangku! ingin sekali kuteriakkan, dengan pengeras suara paling super tepat pada lobang telingamu.

"Aku menangis cintaaaaaaaaaaa!!!!"

Sudahkan airmata ini menggenangi hatimu?! Tidak akan ada sapa untukku lagi kan...aku ingin ajukan banding! Karena kau sudah perlakukanku layaknya pesakitan. Aku bukan penjahat yang sudah banyak mencuri waktumu.

Ah, tapi dia apakah bersedia mendengar dan membaca, bahkan untuk meraba dimana lukakupun dia tak bisa. aku jatuh cinta pada sebuah batu yang menjelma manusia.

Aku....aku bahkan sampai beberapa hari tergeragap karena senyumnya yang tlah menjadi candu bagiku.

Kata pertamaku disini memang harus begini, meski telah berulang kali kualami 'patah hati'