Senin, 22 Februari 2010

Selembar Kertas & Sebuah Pena

Saat aku patah hati aku akan butuh selembar kertas dan sebuah pena. Untuk mengucurkan airmataku yang deras pada pipa kata-kata.

Tapi sekarang, selembar kertas dan sebuah penaku sedang mangkir, butuh merayunya beberapa hari untuk mau kusentuh dan tulisi lagi. Tangankupun gemetaran kali pertama kuraba lagi pangkal pena. Ah, benar-benar gemetarku seperti saat pertama kali bersua dengan pujaan hati.

Mungkin mereka mangkir dari dekapanku sebab aku lebih memilih tuts keyboard dan jejaring dunia maya untuk melampiaskan segala rasa kecintaan dan keinginanku. Tapi sungguh, selembar kertas dan sebuah pena, merekalah cinta pertamaku ketika kuselubungkan rasa dipipa kata-kata.

Gemetarku beberapa hari yang lalu membuatku lupa bahwa patah hatiku dengan lelaki masih membekas dan terasa. Tapi karena aku sibuk merayu selembar kertas dan sebuah pena aku jadi memiliki kekasih baru untuk bisa kurayu. Ya, kekasih baruku itu bahkan lebih manja dan menggoda.

Sebenarnya dulu dia hanya kuanggap sebagai tempat pelampiasaan tuk tuangkan amarah dan rasa kecewa. Hitam putih yang seirama kehidupanku, hitam putih yang sering kali luput mendapat sapa bahagiaku. Kini justru saat aku merasa terlupakan dan tersisih kembali, selembar kertas dan sebuah pena mengintip dibalik tumpukan usang buku-buku. Seolah mereka turut bersedih dan rindu dekap cumbu jari-jariku. Tapi begitulah, layaknya selingkuhan yang sudah lama terabaikan mereka merajuk, memalingkan muka kepadaku. Meski aku tahu mereka sebenarnya tidak begitu.

Diluar jendela kamar, gerimis masih setia bertandang. Mungkin dia juga tahu aku sedang patah hati. Rinainya mengetuk mesra kaca jendela. Maafkan aku hujan, aku tak bisa mentigakan mereka, karena nanti keduanya akan rapuh dan runyam dengan basahmu.

Jangankan kau, kepada titik airmataku saja mereka sudah kelabakan. Kalimatku menjadi buram. Karenanya aku mengerti ternyata selembar kertas dan sebuah pena, saat mereka sudah melebur dalam pipa kata-kata aku harus menjaga keduanya agar tetap harmoni biar bisa terus kubaca.

Kini aku memang masih sibuk merayu, bercerita kepada mereka bagaimana cintaku kepada lelaki kandas tanpa sisa. Tapi begitulah kekasih baruku, mereka begitu senang menampung cerita. Bahkan mereka menunggu dekapan tanganku selanjutnya. Tidak dengan bendungan airmata, tapi dengan seulas senyuman dan tarian jemari yang penuh gairah. Sembari kubisikkan kembali pada mereka ‘aku jatuh cinta’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar